Pages

Saturday 23 November 2013

Misteri di Balik Senja Kuning, Kisah Musyawarah Para Hantu.

Misteri di Balik Senja Kuning, Kisah Musyawarah Para Hantu.

Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Namun cahayanya masih juga memancar dari balik pohon-pohon galam. Kuning bersinar bagaikan sorotan cahaya emas murni memberi warna pada kedatangan senja ketika itu.Kedua adikku, Aminah dan Galuh waktu itu masih asyik bermain saman-samanan di halaman.  Tiba-tiba ibu berseru dari depan pintu.“He, Minah, Galuh lekas naik kerumah.  Ini senja kuning. “Sebentar bu,”sahut Aminah. “Saya kepingin membuat sebuah rumah lagi nanti saya menang.“E, apa ?“ kata ibu pula. “Ini senja kuning, tidak baik berada di luar rumah.  Kalau tidak boleh bermain di luar rumah pada saat seperti ini.  Ayo cepat masuk ke rumah.”
Kedua gadis kecil yang manis-manis itu nampak kecewa. Galuh menjangkau undasnya yang masih tergolek di lingkaran petak saman-samanan dan kemudian melemparnya ke selokan.
“Oh, senja kuning,“ gumamnya tak mengerti. Mengapa kami mesti dilarang bermain di halaman, padahal beduk magrib belum berbunyi Ma,“ protes Aminah pula sambil beriring mereka masuk ke dalam rumah.
“Nanti setelah kita sembahyang magrib akan kuceritakan mengapa pada waktu senja kuning anak-anak dilarang bermain-main di luar rumah,“ komentar ibu pula.
“Setelah selesai sembahyang magrib, dan ibu telah pula melepaskan telekungnya, Galuh tiba-tiba saja berkata lagi. “Ma tadi berjanji menceritakan senja kuning. Nih, kita kan sudah usai sembahyang.”
“Ya, ayolah Ma mulai ceritanya,“ ujar si Aminah mendukung kehendak adiknya. Ibu hanya tersenyum sebentar. Dipandanginya wajah kami satu persatu, lalu dengan penuh kasih sayang kami diciuminya satu persatu.“Baiklah“ ujar ibu kemudian. “Kalau memang belum tahu mengapa ibu melarang kalian bermain-main di luar rumah jika waktu senja kuning.  Sebenarnya bukan ibu saja yang berbuat begitu.  Semua orang di kampung ini melarang anak-anaknya bermain di luar rumah di kala senja kuning seperti tadi.  Itu begini ceritanya.  Menurut penuturan nenekmu dahulu,“ kata ibu memulai kisahnya.
Pada suatu malam di suatu pulau yang terpencil dan tidak pernah dikunjungi orang, diadakan suatu pahadring (musyawarah) oleh hantu-hantu jahat. Mereka itu antara lain Hantu Beranak. Hantu Beranak itu tujuh bersaudara, semuanya cantik-cantik. Rambutnya hitam, ikal dan panjang serta selalu tergerai pula. Kalau tertawa nampak giginya yang putih dan suara ketawanya menyerupai ringkikan kuda, seram bagi yang mendengarnya. Hantu Kisut. Hantu ini tidak bisa berjalan, hanya mengisut saja. Ia selalu membawa talam emas. Sedangkan badannya penuh kudis sehingga  nampak mengerikan. Hantu Suluh, dinamakan demikian karena ia selalu membawa suluh jika keluar malam mencari mangsa. Hantu Garunggang Belakang, hantu ini wajahnya sangat cantik, tetapi belakangnya berlubang. Hantu Sangkala, wajahnya merah. Matanya laksana bara api yang mau melumatkan apa saja. Hantu Kuyang, yaitu hantu perempuan yang terbang malam-malam mencari korbannya. Makanannya darah manusia. Jika kuyang itu terbang badannya ditinggalnya di rumah.  Jadi yang terbang itu hanya kepala dan isi perutnya saja. Marabiaban, hantu ini badannya berbulu seperti gorilla dan taringnya mencuat keluar, seakan-akan siap menerkam dan mengunyah siapa saja yang dianggap cocok untuk dimangsa. Hantu Pulasit, yaitu sejenis hantu perempuan yang suka membuat kaum perempuan kesurupan. Hantu Panjadian, yakni hantu yang berasal dari manusia jahil selama hidupnya. Kemudian hadir juga dalam pahadring itu Anak Sima. Hantu yang ini berbentuk bayi.  Badannya montok dan sangat menarik perhatian bagi yang melihatnya. Sementara itu di balik sebatang bambu besar duduk diam hantu Agaman.  Hantu yang satu ini punya hobi menakut-nakuti orang yang suka keluyuran malam, yaitu dengan cara menggoyang pohon-pohonan atau semak-semak. Di sebelah Hantu Agaman terlihat Setan Gundul sedang asyik menghitung kepingan-kepingan uang emas. Hantu yang satu ini memang termasuk bilangan hantu yang kaya raya. “Nah, Saudara-Saudara, saya kira semua undangan sudah berhadir, kecuali yangmemang tidak mau hadir,“ tiba-tiba Sang Marabiaban berseru lantang. Sebagai hantu yang punya inisiatif untuk mengumpulkan para hantu di tempat ini saya berterima kasih atas kehadiran Saudara-Saudara. Saya kebetulan ingin memusyawarahkan sesuatu yang sangat penting dan mungkin sangat berguna bagi kelangsungan hidup kita bersama,“ ujarnya pula.
Para hantu yang hadir tertegun sejenak setelah mendengar ucapan Sang Marabiaban.“Kelangsungan hidup?  Apa maksud Anda dengan perkataan itu?“ Tiba-tiba Setan Gundul nyeletuk dari balik batang bambu sambil memasukkan pundi-pundi emasnya ke dalam kantong bajunya.“Siapa itu yang bicara tadi?” “Saya, Setan Gundul,” sambil ia maju ke depan dan duduk di batang pohon kayu bulan rebah. “O, Anda rupanya.  Baiklah, saya kira memang saya perlu menjelaskan tentang kelangsungan hidup yang saya maksudkan itu. ”kata Marabiaban pula dengan gaya diplomat kawakan.“Begini Saudara-Saudara. Selama ini saya mensinyalir adanya gejala perpecahan antara kita sesama warga hantu. Di lain pihak kesenjangan dengan manusia semakin melebar.  Saya tidak menghendaki hal itu berlangsung terus. Saya ingin agar kita hidup rukun terutama sesame kita berdasarkan asas pemerataan.”
“Bah!  Ini ide gila, tidak mungkin,“ ujar Setan Gundul setengah histeri. “Apa saya harus membagi hartaku yang ada di tujuh samudera kepada hantu-hantu berengsek dan kurapan yang semua hadir di sini.  Tidak!  Itu tidak boleh terjadi,” ucapnya pula dengan wajah cemberut.“Tenang sahabat,“ Hantu Baranak mulai angkat suara. “Siapa yang Anda maksudkan berengsek dan kurapan itu tadi, saya? Engkau kepala gundul yang loba dan tamak, aku sama sekali tidak kepingin pada harta kekayaanmu. Engkau boleh menghitung hartamu sampai mampus. Tapi jangan sok aksi di hadapanku. Aku punya kekuasaan, punya kesaktian, punya kemauan yang tak mungkin ditegah oleh siapa pun.  Dan aku punya kebebasan untuk mencari apa yang aku mau.  Hartamu bagiku tak ubahnya seperti setumpuk tai kucing busuk.”E, gadis cantik,“ seru Setan Gundul. “Jangan dulu emosi.  Saya cuma mau memperingatkan forum ini agar jangan sampai mengambil keputusan yang merugikan orang lain.”O, jadi Anda mau berlagak bersih? Kesiangan gundul. Sudah berapa manusia yang menjadi budakmu. Berapa laksa anak-anak yang telah kau jadikan teras istanamu. Apakah engkau sangka perbuatanmu itu luhur? Lalu kau banggakan dengan kata-kata jangan sampai merugikan orang lain.  Kau sendiri adalah penipu besar, penghisap darah yang paling licik.  Tak ada hantu yang selicik engkau di dunia perhantuan ini.  Kaulah satu-satunya.”
“Kurang ajar kau Hantu Baranak. Kau tidak tau diri.  Apakah kau juga mau berlagak bersih dari segala percikan dosa?  Kau sembunyikan anak orang, kau kotori kediaman manusia, kau aduk-aduk barang makanan mereka sehingga menjadi busuk, lalu engkau bertujuh tertawa terkekeh-kekeh melihat manusia kebingungan.  Apakan yang seperti ini luhur?  Kelakuanmu tak ubahnya seperti kelakukan sundal!”
“Stop! Ini sudah keterlaluan,” Tiba-tiba Garunggang Balakang bangkit dari duduknya.  Sambil menudingkan telunjuknya ke arah Setan Gundul ia berkata pula, “Kau menyinggung perasaanku. Tidak perlu kau menyindir seperti sikap seorang perempuan, karena yang sundal itu adalah aku, bukan Hantu Baranak. Semasa aku belum memasuki spesies hantu memang aku sundal. Banyak laki-laki yang telah mendapatkan pelayanan memuaskan dariku dan mereka telah memberiku uang. Itu demi kesenangan mereka. Bukankah itu sudah kau maklumi Gundul. Sebab itu tak perlu kau bangkitkan amarahku dengan sindiranmu yang konyol itu. “Ha,ha,ha,“ tiba-tiba terdengar suara tawa di bawah sebatang pohon kariwaya yang ada di forum pertemuan itu. Semua mata memandang ke arah datangnya suara tawa yang sama sekali tidak merdu itu.  Ternyata di sana duduk Hantu Kisut sambil memegang erat-erat talam emasnya. “Itu betul, betul sekali apa yang dikatakan oleh si Garunggang Balakang.  Sekarang juga ia masih menjadi sundal. Untuk apa hal itu harus diperdebatkan di sini.  Ini forum diskusi dan alamiah, eh ilmiah maksudku,” ujar si Kisut. “Dan kau juga menyinngung perasaanku Gundul. Yang kurapan dan kudisan di sini hanya aku, jadi jelas sekali kata-katamu tadi sengaja kau ucapkan untuk memojokkan diriku.  Walaupun aku kudisan dan kurapan, aku masih punya harga diri, tahu? Aku tidak terima.  Kau harus tarik kata-katmu itu, atau aku akan bertindak mengadukan hal ini kepada pihak yang berwajib.”
“Terserah, kamu mau apa ?“ jawab Setan Gundul ketus “Babi hutan,” tiba-tiba Hantu Garunggang Balakang bangkit kembali dari duduknya. “Diam-diam kau punya nyali menuduhku tetap menyundal. Kisut !  Untuk apa kau mencampuri urusanku.  Aku punya hak otonom mengatur rumah tanggaku.  Aku menjadi sundal demi perutku yang selalu minta diisi ini.  Dan engakau adalah hantu yang tamak, loba, ingin punya harta walaupun untuk itu engkau harus menderita seumur hidupmu. Kau kurapan dan kudisan. Sekarang makan olehmu talam emas yang bertatahkan intan berlian itu supaya kau puas.  Bukankah benda itu yang menyebabkan engkau begitu.”
“E, e, dasar sundal.  Sudah begitu jeleknya watakmu masih saja kau sempatkan mengumpatku.  Dasar bedebah kau ini, “sahut Hantu Kisut geram menahan amarah. “Sabar Saudara,” tiba-tiba Hantu Sangkala angkat bicara, “Seperti tadi sudah dikatakan oleh Tuan Marabiaban tentang maksud pertemuan ini adalah untuk mencari suatu sistem bagaimana agar seluruh warga kita dapat menikmati hidup karena adanya pemerataan yang betul-betul rata.” “Lagi-lagi pemerataan, “gerutu Setan Gundul. “Nah, itulah. Lebih baik jangan dahulu berdebat. Dengarkan baik-baik dahulu. Jangan kita salah paham. Kesalahpahaman bisa merusak hubungan harmonis yang sudah kita bina selama ini. Kita ingin hidup rukun, damai, ruhui rahayu bukan?”
“Cih ! Lagaknya seperti makhluk yang paling bijaksana,” sela Hantu Baranak sambil mencibirkan bibirnya ke arah Hantu Sangkala.“Apa yang kau ketahui tentang pemerataan, tentang ruhui rahayu?  Bah ! Dasar mukanya sudah merah, mau berlagak pahlawan perdamaian, rupanya.”Ah, tidak ! Aku cuma ingin mengingatkan kalian, semua hantu yang hadir di sini.”Mengingatkan ? Huh ! Apa engkau mengira hantu-hantu yang hadir di sini semua pikun, bodoh atau kau anggap mereka itu semuanya kunyuk yang tidak berguna ? Ataukah kau menganggap mereka berotak batu seperti otakmu?” Hantu Baranak nampaknya marah sekali kepada Sangkala. Suasana hening seketika, tetapi tiba-tiba terdengar suara yang agak merdu merayu di dekat pohon belimbing.  Ternyata yang bersuara itu adalah Hantu Sandah yang juga turut nyelonong masuk ke dalam forum diskusi. “Sungguh menarik, sungguh menarik ceramahmu itu Sangkala, tapi bagiku sama sekali tidak menarik. Yang menarik hatiku adalah sandiwaramu sebagai pelaku kebijaksanaan, padahal kau sama sekali tidak bermoral,“ ucap Hantu Sandah cepat merangsang si Hantu Sangkala.  Ia pun memalingkan wajahnya dan berkata :
“He, kau ikut-ikutan bicara maling laki orang.  Bibirmu yang merah itu jangan kau gunakan untuk membuat kekeruhan denganku di sini. Karena kecantikan yang kau miliki itu hanya pulasan belaka. Kemarin kutahu engkau kehabisan gincu, lalu kamu mencuri gincu buatan luar negeri di toko Cina, dan aku yakin yang merah di bibirmu sekarang adalah gincu yang kau curi kemarin. Dasar perempuan tidak tau diri, maunya dilihat cantik saja. Sandah, sekarang aku mau tanya sudah berapa laki orang yang kau rampas,  sudah berapa rumah tangga orang yang hancur akibat ulahmu?” “Diam!” bentak Hantu Sandah geram. Ini sudah melampaui batas penghinaan. Sudah berani mencampuri urusan saya, urusan pribadi saya. Anda mau sok bersih?  Apakah engkau lupa bahwa dalam dua minggu terakhir ini kamu sudah membunuh lima orang anak manusia,  Dua diantaranya kau cekik waktu mereka bermain-main di senja hari. Dan yang lainnya kau dorong sehingga anak itu jatuh terhempas dari atas pohon mengkudu. Sangkala, kamu adalah pembunuh sadis yang tidak ada gunanya.  Nanti kamu pasti akan menerima hukumanmu. Sangat setimpal hukuman itu. Nanti lehermu akan dipelintir ke belakang dan lidahmu akan terjulur ke luar. Kau pun tidak lagi mampu mengucapkan kata-kata,  tolong saya, tolong saya. Lalu haripun kiamat,  hukuman akan ditambah. Kakimu yang seperti kaki keledai itu akan digantung di dahan pohon balangkasua sementara itu api neraka akan membakar hangus kepalamu.”
“Sudah! Peduli amat.  Itu salah mereka sendiri,” ujar Sangkala. “Masa rumah saya dikencingi.”
“Ya, tetapi Anda cuma berani dengan anak-anak. Coba dengan Haji Tuhalus. Ayo mana nyalimu, mana kehibatan yang kau miliki. Kemarin, kemarin dulu kau mendorong cucunya, tetapi keburu ketahuan oleh Haji Tuhalus.  Ia hanya mengangkat tangan kemudian mengarahkan jarinya menunjuk mukamu yang jelek itu, kau sudah lari terbirit-birit sambil melolong-lolong kesakitan,“ dengan emosi Sandah mengejek Sangkala. “Diam!“ Tiba-tiba Sang Marabiaban yang dari tadi mendengarkan perdebatan itu bangkit dari duduknya sambil tangannya dihempaskan ke batang pohon kayu bulan rebah yang diduduki oleh beberapa hantu.  Kayu itu ambelas ke dalam tanah sedalam tujuh depa. Sementara hantu-hantu yang duduk di atasnya terpental ke atas dan ada yang tersangkut di cabang pohon kariwaya. Baru dengan susah payah ia dapat turun dari sana. “Cukup sudah penderitaan sial yang tak akan membuahkan apa-apa ini kalian lakukan,“ geram Marabiaban dengan sinar mata berapi-api. “Aku tahu kalian semua sok bersih, mau cuci tangan dari perbuatan jahil yang berkali-kali kalian lakukan.  Pendeknya kalian semua jahat.  Kalian semua jahil.”
“Tapi aku tidak,”  sekonyong-konyong Anak Sima nyeletuk. “Apa?  Kamu tidak jahat? Kamu tidak tahu diri hantu ingusan bedebah. Bukankah kamu diturunkan oleh orang jahat dan tidak bermoral. Ibu bapakmu tidak pernah nikah, lalu tiba-tiba kau lahir dan jadi hantu. Karena itu tidak aneh kalau kamu juga menjadi hantu yang amoral.  Kau pergi kesana kemari mencari ibumu. Kau tidak peduli waktu telah larut malam.  Kau takuti orang-orang desa yang tengah istirahat malam, karena sudah sangat lelah pada siang hari. Mereka membanting tulang mencari sesuap nasi bagi perutnya dan perut anak isterinya. Mereka ketakutan karena tangisan, tangisan iblis. “Itu kan rahasia pribadi saya, seharusnya Tuan Marabiaban tidak mengumumkannya di sini,“ ujar Anak Sima dengan wajah tersipu-sipu menahan rasa malu. “Ya, pribadi busuk.“ Seketika mata Sang Marabiaban berputar dan berhenti pada sesosok tubuh, tubuh Hantu Suluh.  “Kau juga Suluh, apa saja kerjamu malam-malam mendatangi anak-anak orang yang menangis. Sementara ikan para petani habis kau lahap. Kau juga tidak bersih Suluh.” “Hantu Suluh diam saja karena memaklumi kehebatan Sang Marabiaban. “Hantu Baranak, kau juga.”Ya Tuan Marabiaban ada apa dengan saya,” jawab si Sulung dari ketujuh bersaudara itu. Ia langsung berdiri dan berkacak pinggang. “Kau juga jahat,” ujar Marabiaban. “Tidak perlu engkau bersikap angkuh kepadaku.  Itu perlakuan aku merobek kulit mukamu yang putih mulus itu, lalu kujelaskan mengenai kejahatan yang pernah kau lakukan” Semua diam. Si Sulung kecut hatinya.  Lalu dengan wajah jengkel ia duduk kembali.  Hantu-hantu yang lain berdebar-debar hatinya menunggu kata-kata berikutnya dari Sang Marabiaban.  Semuanya pucat, takut segala kejahatan yang selama ini dibuatnya terbongkar. “Tidak ada yang bersih di sini.  Akupun tak pernah mengaku bersih,“ sambung Marabiaban lagi memecah keheningan dan ketegangan. “Semua sektor, jahat, jelek!  Coba sekarang angkat muka kalian semua dan hadapkan kepadaku bagi mereka dirinya bersih. Semua hantu saling berpandangan satu sama lain.  Ketegangan kembali mencekam.  Sunyi tak ada yan berkutik, tak ada yang berbisik.  Sementara malam sudah mendekati ujung.  Bulan telah penuh dan bertengger pada porosnya.  Memang sekarang ini tepat empat belas malam Jum’at.  Sebentar cahaya meremang karena seberkas awan hitam melindungi wajah bulan.  Ketegangan itu mengendor ketika Sang Marabiaban mulai membuka bicaranya lagi dengan dengan nada rendah. “Aku mengumpulkan kalian di sini bukan untuk berdebat.  Bukan untuk saling menuduh atau saling menyalahkan.  Kita semua hidup dalam alam kita sendiri.  Meskipun kalian hidup bebas di alam ini, tetapi kalian masih perlu diatur supaya jangan sewenang-wenang dalam bertindak.  Aturan itu perlu dibuat meski tanpa akte, supaya semua tahu hak dan kewajibannya.  Selama ini aku melihat kalian hidup tanpa aturan.  Maka sekarang akulah yang tampil membuat aturan permainan bagi kalian.  Segala aturan yang kubuat dan kusahkan nanti harus kalian taati.  Jika ada yang tidak mau tunduk, maka akan kucari dia sampai kuketahui dimana tempat persembunyiannya.  Walau untuk itu aku harus menjalani tujuh patala langit dan tujuh patala bumi.  Kemudian ia akan kuhukum dengan hukuman yang paling setimpal dengan kesalahannya.  Sebelum aturan itu kubuat dan kusahkan, silahkan kalau ada yang mau melakukan protes atas kebijaksanaanku ini.  Tunjukan kepadaku keberanian dan kesaktian kalian,” seru Marabiaban dengan penuh kesungguhan. Ketegangan merembes lagi dari celah-celah malam.  Semua hantu menunduk dan diam.  Tak ada terdengar suara, hening tapi tegang. “Kalau Tuan Marabiaban ingin mengatur kami, itu memang beralasan sekali.  Ide itu sangat bijaksana, aku setuju dan semua yang hadir di sini menurut anggapan saya setuju juga.  Mereka diam, diam artinya setuju,” ujar Hantu Kahakung yang rpanya hadir juga dalam pertemuan itu dengan nada sedikit menjilat. Tiba-tiga semua yang hadir berseru serempak, “Setuju!”
“Kalau demikian baiklah aku buat pemerataan dan aturan permainan bagi kita semua. Dengarkan baik-baik oleh kalian.  Yang pertama kita tidak boleh semena-mena kepada manusia, kecuali kalau mereka mengganggu kita.  Anak-anak yang kurang ajar berani merusak lingkungan hidup kita itulah dia mangsa kita.  Hutan belantara ini akulah yang menguasainya.  Dan kau Kisut, Hantu Penjadian silahkan bersembunyi di dalam hutan kekuasaanku.  Kedua jika hari senja, terutama di waktu senja kuning, aku perbolehkan kalian berburu dan silahkan mangsa anak-anak yang masih bermain di tanah.  Hanya dua itu saja, tetapi aku ingin agar kedua aturan ini benar-benar kalian patuhi.  Aturan-aturan lainnya akan kupikirkan, terutama aturan yang berhubungan dengan kita semua sesama makhluk halus.  Baiklah, sekarang kalian boleh bubar,“ Sang Marabiaban mengakhiri ucapannya.
Satu demi satu hantu meninggalkan tempat pertemuan. Dari jauh sayap-sayap terdengar azan subuh, hal ini memaksa para hantu untuk bergegas pergi dari tempat pahadring (musyawarah) itu dan segera menuju kediaman masing-masing.
“Itulah cerita nenekmu dahulu anak-anakku.  Mengapa anak-anak tidak boleh bermain di halaman kalau sedang turun senja kuning,” kata ibu mengakhiri ceritanya.
Aminah dan Galuh menyadari kini mengapa ibu menegahnya bermain di waktu senja di luar rumah.  Mereka pun yakin bahwa tegahan ibu semata-mata karena sayang.

Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Selatan UPT Taman Budaya Kalimantan Selatan, 2013.

0 comments:

Post a Comment