Pages

Thursday 14 November 2013

Sejarah Kota Banjarmasin

SEJARAH KOTA BANJARMASIN

Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Selatan diperkirakan dimulai ketika berdiri Kerajaan Tanjung Puri sekitar abad 5-6 Masehi. Kerajaan ini letaknya cukup strategis yaitu di Kaki Pegunungan Meratus dan di tepi sungai besar sehingga di kemudian hari menjadi bandar yang cukup maju. Kerajaan Tanjung Puri bisa juga disebut Kerajaan Kahuripan, yang cukup dikenal sebagai wadah pertama hibridasi, yaitu percampuran antarsuku dengan segala komponennya. Setelah itu berdiri kerajaan Negara Dipa yang dibangun perantau dari Jawa.

Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Dipa ini. Untuk menyelamatkan, dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir, yaitu ke arah laut di Muhara Rampiau. Negara Dipa terhindar dari kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar dengan nama Negara Daha dengan raja sebagai pemimpin utama. Negara Daha pada akhirnya mengalami kemunduran dengan munculnya perebutan kekuasaan yang berlangsung sejak Pangeran Samudra mengangkat senjata dari arah muara, selain juga mendirikan rumah bagi para patih yang berada di muara tersebut.

Pemimpin utama para patih bernama MASIH. Sementara tempat tinggal para MASIH dinamakan BANDARMASIH. Raden Samudra mendirikan istana di tepi sungai Kuwin untuk para patih MASIH tersebut. Kota ini kelak dinamakan BANJARMASIN, yaitu yang berasal dari kata BANDARMASIH.
Kerajaan Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan maritim utama sampai akhir abad 18. Sejarah berubah ketika Belanda menghancurkan keraton Banjar tahun 1612 oleh para raja Banjarmasin saat itu panembahan Marhum, pusat kerajaan dipindah ke Kayu Tangi, yang sekarang dikenal dengan kota Martapura.
Awal abad 19, Inggris mulai melirik Kalimantan setelah mengusir Belanda tahun 1809. Dua tahun kemudian menempatkan residen untuk Banjarmasin yaitu Alexander Hare. Namun kekuasaanya tidak lama, karena Belanda kembali.
Babak baru sejarah Kalimantan Selatan dimulai dengan bangkitnya rakyat melawan Belanda. Pangeran Antasari tampil sebagai pemimpin rakyat yang gagah berani. Ia wafat pada 11 Oktober 1862, kemudian anak cucunya membentuk PEGUSTIAN sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin, yang akhirnya dihapuskan tentara Belanda Melayu Marsose, sedangkan Sultan Muhammad Seman yang menjadi pemimpinnya gugur dalam pertempuran. Sejak itu Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Daerah ini dibagi menjadi sejumlah afdeling, yaitu Banjarmasin, Amuntai dan Martapura. Selanjutnya berdasarkan pembagian organik dari Indisch Staatsblad tahun 1913, Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua afdeling, yaitu Banjarmasin dan Hulu Sungai. Tahun 1938 juga dibentuk Gouverment Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Gubernur Pertama dr. Haga.
Setelah Indonesia merdeka, Kalimantan dijadikan propinsi tersendiri dengan Gubernur Ir. Pangeran Muhammad Noor. Sejarah pemerintahan di Kalimanatn Selatan juga diwarnai dengan terbentuknya organisasi Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI ) Divisi IV di Mojokerto, Jawa Timur yang mempersatukan kekuatan dan pejuang asal Kalimantan yang berada di Jawa.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati menyebabkan Kalimantan terpisah dari Republik Indonesia. Dalam keadaan ini pemimpin ALRI IV mengambil langkah untuk kedaulatan Kalimantan sebagai bagian wilayah Indonesia, melalui suatu proklamasi yang ditandatangani oleh Gubernur ALRI Hasan Basry di Kandangan 17 Mei 1949 yang isinya menyatakan bahwa rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan memaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur tentara ALRI yang melingkupi seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah itu dinyatakan sebagai bagian dari wilayah RI sesuai Proklamasi kemerdekaaan 17 agustus 1945. Upaya yang dilakukan dianggap sebagai upaya tandingan atas dibentuknya Dewan Banjar oleh Belanda.
Menyusul kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan kehidupan pemerintahan di daerah juga mengalamai penataaan. Di wilayah Kalimantan, penataan antara lain berupa pemecahan daerah Kalimantan menjadi 3 propinsi masing-masing Kalimantan Barat, Timur dan Selatan yang dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956.
Berdasarkan UU No.21 Tahun 1957, sebagian besar daerah sebelah barat dan utara wilayah Kalimantan Selatan dijadikan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari daerah Kabupaten Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan Propinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu Propinsi Kalimantan Selatan tidak lagi mengalami perubahan wilayah, dan tetap seperti adanya. Adapun UU No.25 Tahun 1956 yang merupakan dasar pembentukan Propinsi Kalimantan Selatan kemudian diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 1957 dan UU No.27 Tahun 1959.
UJUNG Pulau Alalak pada suatu masa pernah menjadi medan pertumpahan darah yang memakan banyak korban. Kampung Alalak adalah salah satu kampung kuno di Banjarmasin. Pernah dikenal dengan nama Alalak Besar, pemekaran administrasi pemerintahan daerah pada masa kini membuat Alalak terbagi lagi menjadi Alalak Utara, Alalak Selatan dan Alalak Tengah yang termasuk wilayah Kota Banjarmasin. Sementara Alalak Pulau termasuk wilayah Kabupaten Barito Kuala.
Alalak berbatasan dengan Kampung Kuin di Banjarmasin dan Barangas, kampung tua lainnya di wilayah Kabupaten Barito Kuala. Orang Kuin, Alalak, Barangas, Balandean, Sarapat, Tamban, Lupak, Tabunganen, Aluh-aluh adalah warga suku Banjar, Kalimantan Selatan yang akrab dengan pola  kehidupan sungai. Sungai Barito dan Sungai Martapura sejak lama membentuk masyarakatnya hingga melahirkan kebudayaan sungai.
“Cerita orang-orang tua dulu di ujung Pulau Alalak terjadi perang besar antara Pangeran Samudera dengan Pangeran Tumenggung,” kata Ali Djamali, Ketua RT 13, RW 01, Kelurahan Alalak Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin.
Menurut dia, ujung Pulau Alalak hanyalah salah satu tempat pertemuan pasukan Pangeran Samudera dan Pangeran Tumenggung, penguasa Negara Daha. Tempat pertarungan pasukan Pangeran Samudera lainnya saat menghadapi gempuran pasukan Pangeran Tumenggung adalah sebuah tempat di Balandean yang bernama Rambai Habang.
“Disebut Rambai Habang karena sungainya penuh darah sampai-sampai pohon rambainya berwarna merah (habang). Rambai Habang di Balandean adalah tempat penghadangan pasukan Pangeran Samudera,” ungkap Ali.
Pertempuran antara Pangeran Samudera dengan Pangeran Tumenggung sesungguhnya adalah perang saudara antar bangsawan Negara Daha sepeninggal Maharaja Sukarama, penguasa kraton Negara Daha. Raden Samudera yang merupakan pewaris sah kerajaan Negara Daha, sesuai amanat sang kakek Maharaja Sukarama, kemudian terusir dari istana menjadi putra mahkota terbuang. Tampuk kekuasaan Negara Daha dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi, putra Maharaja Sukarama. Pangeran Mangkubumi kemudian terbunuh, tahta pun diduduki saudaranya, Pangeran Tumenggung.
Atas nasihat Mangkubumi Arya Taranggana, Raden Samudera melarikan diri dari istana dan hidup menyamar sebagai nelayan di Muara Bahan, Balandean, Sarapat dan Kuin. Oleh Patih Masih, nelayan sebatang kara itu diangkat sebagai anak. Setelah mengetahui jati diri Samudera adalah bangsawan sekaligus pewaris sah tahta Negara Daha, maka Patih Masih dengan  didukung Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung dan Patih Kuin bersepakat mengangkat Samudera sebagai raja di Banjar. Rumah Patih Masih di Kuin menjadi istana sang pangeran dari Negara Daha itu.
Pertempuran kedua pangeran tak berkesudahan. Patih Masih mengusulkan kepada Pangeran Samudera minta bantuan kepada Sultan Demak. Bantuan --dengan syarat Pangeran Samudera dan rakyat Banjar bersedia memeluk Islam jika memenangkan pertempuran-- bala tentara akhirnya dikirimkan oleh kesultanan Demak. Medan pertempuran berlanjut di Rantauwan Sangyang Gantung sampai Negara Daha. Tak ada yang kalah dan yang menang, kedua pihak memutuskan duel di atas perahu antara Pangeran Samudera dan Pangeran Tumunggung.
Amir Hasan Kiai Bondan melukiskan suasana pertempuran terakhir yang genting itu dengan ucapan Pangeran Samudera kepada Pangeran Tumenggung, “Sodok ja badahulu! (tikam saja duluan).” Tiba-tiba, Pangeran Tumenggung memeluk dan mencium sambil menangis kepada Pangeran Samudera. Kepada anak saudaranya itu, Pangeran Tumenggung juga meminta maaf atas semua kesalahannya dan mengakui Pangeran Samudera sebagai raja yang sah. Peristiwa yang menentukan ini, menurut sejarahwan Idwar Saleh, terjadi pada 24 September 1526. Catatan ini pula kemudian yang dijadikan sebagai hari lahirnya Kota Banjarmasin. Pangeran Samudera kemudian menjadi penguasa pertama dinasti kerajaan Banjar Islam dengan gelar Sultan Suriansyah atau Panembahan Batu Habang
Banjarmasih adalah nama kampung yang dihuni suku Melayu. Kampung ini terletak di bagian utara muara sungai Kuin, yaitu kawasan Kelurahan Kuin Utara dan Alalak Selatan saat ini. Kampung Banjarmasih terbentuk oleh lima aliran sungai kecil, yaitu sungai Sipandai, sungai Sigaling, sungai Keramat, sungai Jagabaya dan sungai Pangeran yang semuanya bertemu membentuk sebuah danau. Kata banjar berasal dari bahasa Melayu yang berarti kampung atau juga berarti berderet-deret sebagai letak perumahan kampung berderet sepanjang tepian sungai. Banjarmasih berarti kampung orang-orang Melayu, sebutan dari dari orang Ngaju (suku Barangas) yang menghuni kampung-kampung sekitarnya.
Penduduk Banjarmasih dikenal sebagai Oloh Masih yang artinya orang Melayu, sebutan oleh Oloh Ngaju (oloh = orang, ngaju = hulu) tersebut. Pemimpin masyarakat Oloh Masih disebut Patih Masih yang nama sebenarnya tidak diketahui. Menurut Hikayat Banjar, ketika menjadi ibukota kerajaan (1520), Banjarmasin memiliki pelabuhan perdagangan yang disebut Bandar yang letaknya di tepi sungai Martapura di sebelah hulu dari muara sungai Kelayan.
Pada abad ke-16 muncul Kerajaan Banjarmasih dengan raja pertama Raden Samudera, seorang pelarian yang terancam keselamatannya oleh pamannya Pangeran Tumenggung yang menjadi raja Kerajaan Negara Daha sebuah kerajaan Hindu di pedalamam (Hulu Sungai). Kebencian Pangeran Tumenggung terjadi ketika Maharaja Sukarama masih hidup berwasiat agar cucunya Raden Samudera yang kelak menggantikannya sebagai raja. Raden Samudera sendiri adalah putra dari Puteri Galuh Intan Sari, anak perempuan Maharaja Sukarama. Atas bantuan Arya Taranggana, mangkubumi negara Daha, Raden Samudera melarikan diri ke arah hilir sungai Barito yang kala itu terdapat beberapa kampung diantaranya kampung Banjarmasih.
Patih Masih dan para patih (kepala kampung) sepakat menjemput Raden Samudera yang bersembunyi di kampung Belandean dan setelah berhasil merebut Bandar Muara Bahan di daerah Bakumpai, yaitu bandar perdagangan negara Daha dan memindahkan pusat perdagangan ke Banjarmasih beserta para penduduk dan pedagang, kemudian menobatkan Raden Samudera menjadi raja dengan gelar Pangeran Samudera. Hal ini menyebabkan peperangan dan terjadi penarikan garis demarkasi dan blokade ekonomi dari pantai terhadap pedalaman. Pangeran Samudera mencari bantuan militer ke berbagai wilayah pesisir Kalimantan, yaitu Kintap, Satui, Swarangan, Asam Asam, Laut Pulo, Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, Karasikan, Biaju, Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kota Waringin, Sukadana, Lawai dan Sambas. Hal ini untuk menghadapi Kerajaan Negara Daha yang secara militer lebih kuat dan penduduknya kala itu lebih padat. Bantuan yang lebih penting adalah bantuan militer dari Kesultanan Demak yang hanya diberikan kalau raja dan penduduk memeluk Islam. Kesultanan Demak dan dewan Walisanga kala itu sedang mempersiapkan aliansi strategis untuk menghadapi kekuatan kolonial Portugis yang memasuki kepulauan Nusantara dan sudah menguasai Kesultanan Malaka.
Sultan Trenggono mengirim seribu pasukan dan seorang penghulu Islam, yaitu Khatib Dayan yang akan mengislamkan raja Banjarmasih dan rakyatnya. Pasukan Pangeran Samudera berhasil menembus pertahanan musuh. Mangkubumi Arya Taranggana menyarankan rajanya daripada rakyat kedua belah pihak banyak yang menjadi korban, lebih baik kemenangan dipercepat dengan perang tanding antara kedua raja. Tetapi pada akhirnya Pangeran Tumenggung akhirnya bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera.
Dengan kemenangan Pangeran Samudera dan diangkutnya rakyat negara Daha (orang Hulu Sungai) dan penduduk Bandar Muara Bahan (orang Bakumpai) maka muncullah kota baru, yaitu Banjarmasih yang sebelumnya hanya sebuah desa yang berpenduduk sedikit. Pada 24 September 1526 bertepatan tanggal 6 Zulhijjah 932 H, Pangeran Samudera memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah (1526-1550). Rumah Patih Masih dijadikan keraton, juga dibangun paseban, pagungan, sitilohor (sitihinggil), benteng, pasar dan masjid (Masjid Sultan Suriansyah). Muara sungai Kuin ditutupi cerucuk (trucuk) dari pohon ilayung untuk melindungi keraton dari serangan musuh. Di dekat muara sungai Kuin terdapat rumah syahbandar, yaitu Goja Babouw Ratna Diraja seorang Gujarat.
Kerajaan Banjarmasih berkembang pesat, Sultan Suriansyah digantikan anaknya Sultan Rahmatullah 1550-1570, selanjutnya Sultan Hidayatullah 1570-1620 dan Sultan Musta'inbillah 1520-1620. Untuk memperkuat pertahanan terhadap musuh, Sultan Mustainbillah mengundang Sorang, yaitu panglima perang suku Dayak Ngaju beserta sepuluh orang lainnya untuk tinggal di keraton. Seorang masuk Islam dan menikah dengan adik sultan, kemunkinan dia masih kerabat dari isteri Sultan, yaitu Nyai Siti Diang Lawai yang berasal dari kalangan suku Dayak. Tahun 1596, Belanda merampas 2 jung lada dari Banjarmasin yang berdagang di Kesultanan Banten. Hal ini dibalas ketika ekspedisi Belanda yang dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin tanggal 7 Juli 1607.
Pada tahun 1612, armada Belanda tiba di Banjarmasih untuk membalas atas ekspedisi tahun 1607. Armada ini menyerang Banjarmasih dari arah pulau Kembang dan menembaki Kuin ibukota Kesultanan Banjar sehingga Banjar Lama atau kampung Keraton dan sekitarnya hancur, sehingga ibukota kerajaan dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura. Walaupun ibukota kerajaan telah dipindahkan tetapi aktivitas perdagangan di pelabuhan Banjarmasih tetap ramai. Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar: pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar. Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy, kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya yang dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama pada masa itu adalah jukung atau perahu.
Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai. Kota Tatas merupakan sebuah wilayah yang dikelilingi sungai Barito, sungai Kuin dan Sungai Martapura seolah-olah membentuk sebuah pulau sehingga dinamakan pulau Tatas. Di utara Pulau Tatas adalah Banjar Lama (Kuin) bekas ibukota pertama Kesultanan Banjar, wilayah ini tetap menjadi wilayah Kesultanan Banjar hingga digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860. Sedangkan pulau Tatas dengan Benteng Tatas (Fort Tatas) menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda yang sekarang menjadi pusat kota Banjarmasin saat ini. Nama Banjarmasih, oleh Belanda lama kelamaan diubah menjadi Banjarmasin. Kota Banjarmasin modern mencakup pulau Tatas, Kuin dan daerah sekitarnya.
Kesultanan Banjar dihapuskan Belanda pada tanggal 11 Juni 1860, merupakan wilayah terakhir di Kalimantan yang masuk ke dalam Hindia Belanda, tetapi perlawanan rakyat di pedalaman Barito baru berakhir dengan gugurnya Sultan Muhammad Seman pada 24 Januari 1905. Kedudukan golongan bangsawan Banjar sesudah tahun 1864, sebagian besar hijrah ke wilayah Barito mengikuti Pangeran Antasari, sebagian lari ke rimba-rimba, antara lain hutan Pulau Kadap Cinta Puri, sebagian kecil dengan anak dan isteri dibuang ke Betawi, Bogor, Cianjur dan Surabaya, sebagian mati atau dihukum gantung. Sementara sebagian kecil menetap dan bekerja dengan Belanda mendapat ganti rugi tanah, tetapi jumlah ini amat sedikit.
Pada tahun 1898 Belanda kemudian mengangkat seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin, yaitu C.A. Kroesen dengan dibantu oleh:
Sekretaris: E.J. Gerrits, Commies (komis): G.J. Mallien,
Commies (komis) ke-2: F.N. Messchaert, Landmeter en rooi meester: G.J. Beaupain
Sedangkan dalam Afdeeling Banjarmasin, struktur kepemimpinannya adalah:
Asisten Residen: E.B. Masthoff, Kepala polisi: C.W.H. Born, Ronggo: Kiahi Mas Djaja Samoedra
Luitenants der Chinezen: The Sin Yoe dan Ang Lim Thay, Kapitein der Arabieren: Said Hasan bin Idroes Al Habesi
Setiap kampung Belanda dipimpin Wijkmeester, seperti:
Kampung Litt. A oleh G.J. Mallien
Kampung Litt. B oleh R.R. Hennemann
Kampung Litt. C oleh K.F. Pereira
Kampung Litt. D oleh G. Weidema
Kampung Litt. E oleh H.G.A. Henevelt
Ekspansi modal dan teritorial setelah tahun 1870 diikuti dengan imigrasi intelek Belanda dan pengusaha hingga muncullah "enclave masyarakat bule" sebagai pusat kebudayaan Barat di tengah masyarakat Banjar yang muslim dan tradisional. Masyarakat kolonial yang pluralistik dengan ciri adanya pemisahan warna kulit antara penguasa dengan rakyat yang dikuasai, adanya sub ordinasi politik serta ketergantungan ekonomi dan ekslusivisme setiap golongan hidup terpisah dan merasa lebih unggul dari yang lainnya. Dengan bertambah penduduk kulit putih yang berkuasa politis dan ekonomi atas suatu kota, timbullah hasrat untuk mengatur urusan sendiri lebih bebas dari ketentuan pemerintah kolonial.
Masyarakat kulit putih diberi keleluasan untuk mengatur kepentingan kelompok mereka melalui sebuah Dewan Gemeente. Masyarakat Eropa ini akhirnya berhasil membentuk pemerintahan Eropa untuk orang Eropa, adanya seorang Burgemeester kota di samping Residen yang sudah ada di dalam Karesidenan Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo. Stijl hidup Barat pun ikut terbawa. Bahasa Belanda menjadi bahasa golongan yang terpelajar dan lapisan atas. Perkembangan modernisasi kota Banjarmasin dengan pusat-pusat perkantoran, bank, firma-firma Belanda, gereja, jalanan kampung Belanda, pasar, alun-alun, sungai dengan jembatan ringkap. Tumbuhnya kebudayaan Barat di dalam tubuh kebudayaan Banjar yang tradisional dengan kontak yang saling memengaruhi dan memberikan stimulans, akulturasi dan enkulturasi.
Di lingkungan priyayi baru, kelompok kiai dan pegawai pemerintah bumiputera yang mendapat didikan Belanda merasa status sosialnya lebih tinggi dari pada masyarakat biasa. Pakaian barat dan bahasa Belanda menjadi ciri khas orang berpendidikan. Dalam masyarakat tradisional, tuan guru yaitu para ulama sangat dihormati karena kharisma dan pengetahuan agamanya. Naik haji merupakan keinginan yang kuat karena status haji dapat mengubah status sosial dan pandangan umum, ditambah lagi dengan kombinasi pengetahuan agama dan kekayaan yang dimiliki dari perdagangan dan pertanian. Lambat laun difusi budaya modern mendesak yang tradisional, misalnya bentuk dan jenis pakaian mulai berubah baik pada pria maupun wanita, pemakaian gramofoon dengan lagu klasik dan kroncong, film bisu, sandiwara, tonil dan radio menggeser gamelan Banjar, tari topeng, Wayang Kulit Banjar dan Wayang Gung.
Penghibahan otonomi yang pertama kepada masyarakat kulit putih di Banjarmasin tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1919 nomor 252, tertanggal 1 Juli 1919. Gemeente Raad Banjarmasin beranggotakan 13 orang, yaitu 7 orang Eropa, 4 bumiputera dan 2 Timur Asing.
Dewan ini diketuai: P.J.F.D. Van De Riveira (Asisten Residen Afdeeling Banjarmasin), dengan anggota:
Pangeran Ali, Amir Hasan Bondan, B.J.F.E. Broers, A.H. Dewald, H.M.G. Dikshoorn, Mr. L.C.A. Van Eldick Theime, Hairul Ali, H.H. Gozen, Lie Yauw Pek, Mohammad Lelang , J. Stofkoper, Tjie San Tjong, J.C. Vergouwen dan Sekretaris: G. Vogel

Walaupun pada kulitnya pembentukan Gemeente Banjarmasin dan Gemeente Raad menyangkut segi politik semua golongan masyarakat Banjarmasin, dalam pelaksanaan selanjutnya meliputi segi-segi kepentingan golongan kulit putih semata, kepentingan pemnerintah dan pengusaha Belanda, pendidikan anak-anak kulit putih, rekreasi kulit putih, kebersihan kota, penerangan, air minum dan sebagainya seperti terlihat pada jalanan kampung Belanda (Resident de Haanweg).
 
Selanjutnya tahun 1938, Kalimantan menjadi gouvernorment Borneo yang terdiri dari Karesidenan Borneo Barat dan Karesidenan Selatan serta Timur Borneo yang beribukota di Banjarmasin dengan Gubernur A. Haga. Gemeente Banjarmasin ditingkatkan dengan Stads Gemeente Banjarmasin. Sejak adanya Provincial Raad (Banjar Raad) mulai Agustus 1938, wakil Kalimantan dalam Volksraad adalah Pangeran Muhammad Ali, selanjutnya digantikan oleh anaknya, yaitu Ir. Pangeran Muhammad Noor (1935-1938), kemudian digantikan Mr. Tajuddin Noor (1938-1942).

Masuknya Jepang dari Kalimantan Timur ke wilayah Kalimantan Selatan tanggal 6 Februari 1942 di Bongkang. Tanggal 8 Februari 1942, tiga buah kapal KPM masuk Banjarmasin untuk evakuasi massa Belanda ke pulau Jawa. Pada saat kapal terakhir berangkat, Algemene Vernielings Corps (AVC), yaitu korps perusak melaksanakan tugas bumi hangus agar fasiltas yang ada tidak digunakan oleh Jepang,
Banjarmasin bergetar oleh ledakan dinamit yang keras. Gubernur A. Haga dan pejabat terasnya lari ke Kuala Kapuas, selanjutnya ke Puruk Cahu dalam rencana perang gerilya untuk kelak merebut Banjarmasin kembali yang sudah tentu tidak mungkin didukung oleh rakyat jajahan. Apa yang tertinggal dari kebanggaan Kompeni tidak ada lagi. Kerusuhan menjalar, terjadi penjarahan terhadap gudang-gudang firma dan rumah Belanda, pertokoan dan Grand Hotel. Pasar Baru terbakar pada malam harinya.

Dengan persetujuan wali kota H. Mulder, orang-orang Indonesia membentuk pemerintahan Pimpinan Pemerintahan Civil (PPC), diketuai Mr. Roesbandi. Tanggal 10 Februari 1942, wali kota Banjarmasin H. Mulder, Ruitenberg (Kepala Polisi) dan Muelmans menjalani hukuman tembak oleh bala tentara Jepang di tepi Jembatan Coen yang telah diputus AVC, mayatnya dibuang ke sungai Martapura. Disusul 3 orang Belanda dan 3 Tionghoa dipancung juga. Di Telawang, Luth (konteler Tanjung), inspektur Labrijn, Balk (konteler Pleihari) dan H.J. Honning (pegawai rubberisteriksi) dipancung dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan untuk menakuti rakyat. Pada tanggal 12 Februari 1942, Jepang mengeluarkan maklumat, Banjarmasin dan daerahnya dibawah PPC. Para Kiai (kepala distrik) diangkat kembali ke posnya masing-masing.

Tanggal 17 Maret 1942, Jepang membawa Kapten van Epen kembali ke Puruk Cahu untuk melucuti dan melakukan penyerahan diri pihak militer dan pemerintahan sipil Belanda. Tanggal 18 Maret 1942, Kiai Pangeran Musa Ardi Kesuma diangkat sebagai Ridzie membawahi daerah Banjarmasin, Hulu Sungai dan Kapuas-Barito serta wakil Ridzie ditunjuk dr. Sosodoro Djatikoesoemo, sedangkan Wakil Ketua "Gemeente Banjarmasin" yang disebut Haminta adalah Mr. Roesbandi. Para tawanan orang Belanda yang dijemput dari Puruk Cahu dimasukan ke barak Benteng Tatas, wanita dan anak-anak ditahan di bekas rumah opsir menghadap Ringweg (Jl. Loji). Semua terjadi bawah tontonan rakyat yang menghinanya. Masyarakat kelas atas yang tadinya memerintah diperlakukan sebagai paria oleh Jepang. Hidup dalam kamp konsentrasi dengan penderitaan dan kekurangan makanan. Dalam tawanan Dr. A. Haga sempat membuat rencana-rencana untuk pemulihan kekuasaan, tetapi akhirnya ketahuan Jepang.

Pada bulan Mei 1942, semua pihak yang tersangkut sebanyak lebih dari 200 orang ditangkap dan akhirnya dibunuh Jepang diantaranya dr. Soesilo dan Santiago Pareira. Segala lapangan kehidupan masyarakat pada masa itu diawasi dengan ketat oleh Kempetai. Menjelang akhir kekuasaan Jepang, banyak romusha berupa manusia berkerangka berbalut kulit penuh koreng, para gadis belia asal Jawa maupun Kalimantan Selatan sendiri yang dijadikan jugun ianfu seperti yang dialami Mardiyem (Momoye) dan Soetarbini (Miniko) yang didatangkan dari Yogyakarta ke Banjarmasin ketika berusia 13 tahun dipaksa dalam perbudakan seks. Sampai di ian jo Telawang mereka tempatkan dalam kamar-kamar yang bertuliskan nama-nama dalam bahasa Jepang, sepanjang hari melayani kebutuhan seks para militer dan sipir Jepang. Penderitaan Mardiyem selaku saksi hidup peristiwa tersebut telah dibukukan dalam Momoye Mereka Memanggilku. Di Banjarmasin sedikitnya terdapat 3 buah ian jo (asrama jugun ianfu).

0 comments:

Post a Comment